Love Yourself
Aku gagal paham den
gan yang masih keras kepala menjadikan militansi sebagai kompetisi. Apakah kita sengaja dibuat lupa bahwa kehidupan setiap orang pada dasarnya multidimensi sehingga arah, bentuk, dan strategi perlawanannya bukan hanya sekadar hitam dan putih? Mengapa kita justru malah terlena dalam narasi dikotomi semacam ini?
Mesianisme adalah mengapa kita gagal berkali-kali, karena energi dan kesadaran dialokasikan hanya pada yang itu-itu lagi, dengan cara yang itu-itu lagi; sedangkan abad terus berlari. Dunia terus berjalan dan pada akhirnya kita harus berdiri di banyak kaki. Dunia terus berjalan sementara energi kita begitu terbatas dan harus bijak dibagi.
Tidak ada manusia yang berhutang untuk menjadi pahlawan super dan selalu siap sedia di setiap pertarungan. Kita juga terlalu lama membiarkan diri terinjak-injak dalam pertarungan yang tak perlu, hanya demi memenuhi standar-standar militansi yang ternyata tidak berpengaruh apa-apa pada yang ada di luar lingkaran kita sendiri.
Apakah sebuah kewarasan yang sedang kita percayai ketika kita terus mengharapkan hasil baru dari cara-cara yang lama dan sama? Kita memang bergerak, kita berlari, kita terseok, kita berteriak, kita kelelahan—tapi kita tidak ke mana-mana. Kita berputar di titik yang sama. Apakah penderitaan diri telah menjadi standar prestasi tersendiri?
Bagaimana kita menjaga diri agar tak jadi rutin melukai diri dan menjadikannya sebagai bukti dedikasi? Bagaimana kita menahan diri agar ia tak menjadi transisi menuju romantisasi kekalahan? Tahun lalu aku melakukan percobaan bunuh diri dan mungkin tak ada yang peduli kecuali ketika aku sampai keburu mati. Kali ini aku menghabiskan tahun dengan demam dan flu seminggu sekali. Ini kekalahan bagi diriku sendiri, dan ini bukan prestasi. Aku hanya ingin belajar mencintai diri sendiri sebelum berpikir bisa mencintai dan menjadi pahlawan bagi orang lain