The End Of Years
Ketika tahun ini berakhir, tak terasa wabah virus yang bernama COVID-19 ini sudah hampir satu tahun menemani kita semua. Melaluinya seperti menyeret separuh kaki yang gagal melangkah, sementara tenaga yang dikuras untuk mengangkat seakan mubazir. Sebuah kelelahan yang mutakhir. Saya memutuskan untuk mengakhiri tahun ini dengan mencatat, setelah waktu kadung habis dengan ketergesaan, kelalaian, serta kealpaan ingatan sepanjang lebih dari tiga ratus hari.
Tahun ini menyakitkan bagi banyak orang.
Tentu saja, terima kasih media dan ketergantungan kita pada selebritas dan budaya-budaya populer sebagai ekses dari realitas kita yang tak pernah sesuai dengan keinginan sepenuh-penuhnya. Saya tak mencemooh. Saya juga dibuat merasakan patah hati berulang atas kepergian orang-orang terdekat dan penting tahun ini.
Yang menjadikan kehilangan-kehilangan itu sialan adalah kenyataan bahwa ia dibarengi juga dengan kehilangan yang lebih pragmatis: kesadaran tentang betapa ia telah sia-sia sejak semula, pekerjaan-pekerjaan yang meracuni perlahan, persoalan-persoalan yang seperti tanpa jalan keluar, harapan-harapan yang serupa tahi yang selalu gagal disiram dari jamban, serta kepercayaan-kepercayaan yang tak masuk di akal. Tahun ini adalah tahun kemarahan.
Sialnya lagi memuaskan kemarahan membutuhkan tenaga lebih sedikit untuk menguras kewarasan, ketimbang upaya-upaya untuk mengembalikannya. Saya didera (atau baru menyadari bahwa saya didera) depresi kuartal akhir tahun ini. Kesedihan dan kelelahan fisik tanpa alasan berkepanjangan dan imajinasi-imajinasi tentang bunuh diri seperti cermin raksasa yang memantul-mantulkan realita distorsi yang terus menjangkiti, memaksa untuk saya percayai.
Ketika saya pikir saya tak lagi punya opsi untuk berlari (bahkan dari tidur berlama-lama dengan menenggak banyak-banyak obat flu), seseorang (tersabar yang pernah saya temui sepanjang hidup saya yang berantakan dan melelahkan) menyodorkan sebuah berita. Katanya: menuliskan kemarahan dapat mengurangi mental dari banyak tekanan.
Begitulah. Akhirnya kebiasaan mencatat ini saya awali kembali. Selain karena ia mengandung kemungkinan untuk mengurangi keharusan seseorang tersebut terjaga tengah malam untuk memastikan saya baik-baik saja, saya jadi kembali bisa menemui—atau setidaknya merasai lagi—perasaan damai yang samar tatkala berjarak dari setiap pertikaian di dalam kepala saya sendiri. Menyaksikan diri saya diperistiwakan oleh sisi saya yang lain. Sebab, hidup beserta kewajiban-kewajibannya harus tetap bisa atasi, apapun pertempuran apa yang sedang terjadi dalam diri, bukan?
Selamat menghabiskan akhir pekan terakhir di tahun keparat ini.